"Duh, panas banget deh hari nya. Pengen minum yang seger-seger nih. " gumam ku dalam hati. Sejenak aku melirik kekanan dan kekiri mencari kedai minuman siapa tau ada yang jualan didekat sini. Lirik kekanan,lirik kekiri akhirnya aku melihat ada sebuah warung kecil di ujung jalan.Tanpa pikir panjang aku langsung nyamperin warung itu. "Bu.. Beli minuman dingin nya dong,kalau perlu pakai es yang banyak yah bu." Ibu itu pun melihat kearahku dan memberi sebungkus es segar yang aku pesan tadi "Nak, ini minumannya. Memang hari ini panas sekali nak,sudah seminggu ini tidak turun hujan.Kelihatannya kamu bukan orang sini yah nak? " Tanya ibu penjual itu. "Iyah bu, saya memang bukan warga sini,saya dari malang bu. Dari tadi saya menunggu angkot yang kearah terminal lebak bulus tapi kok enggak kelihatan yah angkot nya. " jawab ku bingung,masih melirik kearah sekitar ku yang sunyi. "Kalau mau naik angkot ke sana kamu harus jalan kaki dari sini sekitar 4 kilo keterminal. Memang nya kamu mau kemana nak?" seru si ibu. Aku pun terkejut " OMG...!! Gw harus jalan kaki darisini keterminal? Bisa gempor gw."gumamku dalam hati. "Memang gak ada becak atau apa gitu bu,supaya bisa nyampe keterminal?" Tanya ku lagi.
Obrolan Iseng Si Pengamen
menyambungkan twitter dengan facebook
Dimana Kau Berada
Sekilas terbayang wajah rupawan diujung sana.
Teringat akan, cinta yang pernah kau beri.
Namun lalu kita berpisah direngkuh oleh jarak
Hatiku tak berdaya. Oleh apa yang terjadi.
Sanggupkah aku bertahan disini
Semenjak itu, tak pernah kau beri kabar.
Tak pula kau beri aku sesuatu kepastian.
Hatiku tak berdaya. Oleh apa yang terjadi.
Sanggupkah aku bertahan disini
Chorus:
Dimanakah kau ada.
Rinduku takkan pernah sirna.
Kekasih ingatkah ku disini.
Tertusuk Oleh perih.
Mencari, tak pernah kudapat.
Namun ku kan selalu merindu...
Letih tertambat, menggeliat diresahku.
Hadirmu bagaikan sebuah keajaiban yang tak
Mungkin.
Hatiku tak berdaya. Oleh apa yang terjadi.
Sanggupkah aku bertahan disini
Chorus
orang gila, jagung dan ayam
Alkisah ada orang gila yg mengira dirinya tuh jagung jadi dia takut banget sama ayam karena takut banget di makan. tiap kali liat ayam dia pasti lari terbirit2. akhirnya, orang gila ini dimasukin ke rumah sakit jiwa.
Setaun… dua taun.. tiga taun… akhirnya dia dipanggil oleh sang dokter.
“kamu sudah tau sekarang kamu ini siapa?” kata si dokter.
“sudah dokter,” sahut si orang gila
“jadi kamu ini siapa?”
“saya orang, dokter.”
“bener?”
“iya dokter, saya orang.. bukan jagung.”
“jadi kamu gak takut lagi sama ayam kan?”
“enggak dokter.. gak takut lagi..”
“tapi dokter,” sela si orang gila,” saya ada satu pertanyaan..”
“apa itu?”
“ayam2 itu….. tau gak ya kalau saya sudah berubah jadi orang?”
Soto (Tanpa) Ayam
Di sebuah warung, ada seorang pembeli yang berantem dengan pedagang soto karena merasa ditipu: Pembeli: “Bang, pokoknya saya tidak mau bayar!!”
Penjual: “Loh, kamu makan disini ya harus bayar!!”
Pembeli: “Ngapain saya harus bayar, abang udah nipu saya!”
Penjual: “Nipu bagaimana??”
Pembeli: “Lha ini, katanya soto ayam tapi kagak ada ayamnya sama sekali..”
Penjual: “Emangnya kalau kamu beli jambu monyet, ada monyetnya?!”
Siapa Itu Thomas Alfa Edison?
Bu guru: “Andi..! coba kamu jawab, siapa itu Thomas Alfa Edison..?”
Andi: “Tidak tau bu guru…”.
Bu guru: “Kalo James Watt, siapa dia..?”
Andi: “Ndak tau juga bu guru..”
Bu guru: “Andi! Bagaimana sih kamu ini? ditanya ini itu pasti jawab tidak tau… Tidak pernah belajar ya?”
Andi: “Belajar kok bu guru… Lah coba Andi tanya, bu guru tau ndak siapa Arifin Widodo..?”
Bu guru: “Tidak tau…”
Andi: “Kalau Bambang Setiono Ibu tau?”
Bu guru: “Tidak tau… Emang siapa mereka itu..?”
Andi: “Yaa itulah Bu…, kita khan pasti punya kenalan sendiri-sendiri..”
Keabadian ( Reza Artamevia )
Kau bisikkan kata cinta kepadaku setiap waktu
Kau pasti takkan tinggalkanku selalu bersama
Mungkinkah kau mencintai diriku selama lamanya
Hingga maut memisahkan
Bukan hanya cinta yang sesaat terus menghilang
Bila hasrat telah usai
Bukan berarti aku tak percaya akan kesungguhanmu
Tapi perihku dimasa yang lalu belum juga hilang
Selalu membayangi
Mungkinkah terwujud keabadian
Uuh...bila hasrat t'lah usai
Biar Menjadi Kenangan ( Reza Artamevia )
Tetes airmata ku tak tertahan lagi
Menanti kepastian tentang kita
Kau masih juga bersamanya
Masih mencintainya
Maafkanlah sayangku atas keadaan
Kamu tak pernah jadi kekasihku
Wajahnya selalu terbayang
Saat kau di sisiku
Aku dan kamu takkan tahu
Mengapa kita tak berpisah
Walau kita takkan pernah satu
Biarlah aku menyimpan bayang mu
Dan biarkanlah semua menjadi kenangan
Yang terlukis di dalam hatiku
Meskipun perih namun tetap selalu ada
Di sini
Ku beri segalanya semampunya aku
Meski cinta harus terbagi dua
Mungkin kamu tak pernah tahu
Betapa sakitnya aku
Oh pasti kamu tak pernah tahu
Betapa sakitnya aku
Reza Artamevia ( Berharap Tak Berpisah )
Ingatkah kan dirimu
Yang pernah menyakiti aku
Kau kecewakan aku
Tapi ku maafkan salahmu
Kini berganti kisah
Ku menyakiti dirimu
Tapi apa yang terjadi
Kau meninggalkanku
##
Ijinkan aku untuk terakhir kalinya
Semalam saja bersamamu
Mengenang asmara kita
Dan akupun berharap
Semoga kita tak berpisah
Dan kau maafkan
Kesalahan yang pernah kubuat
Ingatkah kan dirimu
Yang pernah menyakiti aku
Kau kecewakan aku
Tapi ku maafkan salahmu
Kini berganti kisah
Ku menyakiti dirimu
Tapi apa yang terjadi
Kau meninggalkanku
kembali ke ##
Mengapa kau begitu mudahnya
Berfikir hanya dalam waktu
Yang sekejap mata
Kutahu hanya bibirmu yang bicara
Tapi hati kecilmu masih mencintaiku
kembali ke ##
Reza Artamevia ( Aku Wanita )
Selalu ingin bersama dekat dengan dia
Dan menghabiskan waktuku tanpa tersisa
Berharap dia t'rus temani aku
Hingga buat diriku tersadar
##
Aku wanita yang sedang jatuh cinta
Ingin membawanya s'lalu kedalam hidupku selamanya
Aku wanita yang sedang jatuh cinta
Kuharap dia merasa yang aku rasa
Kegelisahan datang tak menentu kala rasa itu ada
Kegundahanpun melanda kala dia ada ataupun tiada
Inginku tampak sempurna tanpa ada cela
Dihadapan dirinya.. oh.. yang kupuja
Kembali ke ##
Selalu ingin bersama dekat dengan dia
Dan menghabiskan waktuku tanpa tersisa
Berharap dia terus temani aku
Hingga buat diriku tersadar
Kembali ke ##
Reza Artamevia ( Aku Takut Jatuh Cinta Lagi )
Terhenyakku melihat matanya,teduh menatap diriku
Tak terasa kitapun berbincang,mencoba saling mengenal
Tiba-tiba kusadari,
Ku mempunyai kekasih
yang t'lah lama bersamaku
mengisi hari indahku
Aku takut bila nantinya
Aku jatuh cinta lagi
Walau itu indah
Dan ku pun inginkan
Tergelitik rasa di hatiku,tuk bertemu dengannya lagi
Kita kan bercanda bercerita,segala impian kita
Dan lagi-lagi ku enggan karena ingat kekasihku
Walau bukanlah salahku untuk cari yang terbaik
Ratu ( Semakin Hari Semakin Cinta )
Semakin jauh ku mengenalmu
Ku mengerti dirimu sehari-hari
Semakin aku memujakamu
Mengagumi dirimu sehari-hari
Semakin dalam
Diriku tenggelam
Kedalam samudra
Cinta yang dalam
Semakin hari semakin cinta
Semakin hari semakin rindu
Semakin dalam perasaan kasih dan sayangku
Kepada kamu
Semakin lama kuredam hatiku
Semakin keras badai asmaraku
Semakin aku menyadari
Ku tak bisa bila tak ada dirimu
Ratu ( Salahkah Aku Terlalu Mencintai Mu )
Kutatap dua bola matamu.
Tersirat apa yang ?kan terjadi.
Kau ingin pergi dariku.
Meninggalkan semua kenangan.
Menutup lembaran cerita. Oh sayangku...
Aku tak mau... Ku tau semua akan berakhir.
Tapi ku ?tak rela lepaskanmu.
Kau tanya mengapa aku tak ingin pergi darimu.
Dan mulutku diam membisu...
Salahkah bila diriku terlalu mencintaimu.
Jangan tanyakan mengapa
Karena aku tak tau.
Aku pun tak ingin bila
kau pergi tinggalkan aku.
Masihkah ada hasratmu
?tuk mencintaiku lagi.
Apakah yang harus aku lakukan.
?tuk menarik perhatianmu lagi...
Walaupun harus
Mengiba agar kau tetap disini.
Lihat aku duhai sayangku...
Ratu ( Baru Jadi )
Saat kau ajak ku pergi malam ini.
Berdua saja dibawah malam
Tanpa rembulan...
Tak pernah berharap kau akan katakan.
Sesuatu yang membuat hidupku berubah
Katamu... Kau cinta... Padaku...
Dan ingin jadi kekasih. Kuharap...
S'lamanya... Janjimu...bukan untuk sesaat
Malam ini jadi, malam yang terindah.
Seindah sekuntum mawar
Yang kau berikan padaku
Chorus:
Dunia terasa indah saat kau ucap janji.
Untuk jadi milikku Selamanya.
Aku jadi milikmu dan kau jadi milikku.
Hari-hari terasa oh indahnya
Lama kunanti saat seperti ini.
Sejak pertama kali kita bertemu.
Mengapa baru sekarang kau katakan.
Sesuatu yang paling indah
Untuk didengar.
Katamu... Kau cinta... Padaku...
Dan ingin jadi kekasih. Kuharap...
S'lamanya... Janjimu...bukan untuk sesaat
Malam ini jadi, malam yang terindah.
Seindah sekuntum mawar
Yang kau berikan padaku
Chorus
Malam ini jadi, malam yang terindah.
Seindah sekuntum mawar
Yang kau berikan padaku
Chorus
Ratu ( Aku Pasti Kembali )
Waktu tlah tiba
Aku kan meninggalkan
Tinggalkan kamu
Tuk sementara
Kau dekap aku
Kau bilang jangan pergi
Tapi ku hanya dapat berkata
Aku hanya pergi tuk sementara
Bukan tuk meninggalkanmu selamanya
Ku pasti kan kembali pada dirimu
Tapi kau jangan nakal
Aku pasti kembali
Kau peluk aku
Kau ciumi pipiku
Kau bilang janganlah ku pergi
Bujuk rayumu buat hatiku sedih
Tapi ku hanya dapat berkata
Apabila nanti
Kau rindukanku
Didekapmu oh
Tak perlu kau risaukan
Aku pasti akan kembali oh
Ratu ( Aku Baik-baik Saja)
T’lah lama sudah bersama
Bercinta berbagi asmara
Namun kau tak dapat
Tinggalkan dirinya untukmu
Hmm, t’lah kuputuskan
‘Tuk menjauh
Kar’na tak mungkin t’rus bersama
Perpisahan jua lebih baik adanya
Harus ku akui
Aku masih sayang kamu
Namun hatiku tak mungkin dapat
‘Tuk memiliki hatimu
Walau pedih…
Tapi ku baik-baik saja
Tak usah kau tangisi pergiku
Bila kuteruskan, hmm, semua ini
Hatiku ‘kan makin menggilaimu
Walau ku tahu kau masih mencintaiku
Ratu ( Jangan Bilang Siapa Siapa)
Pertama jumpa dirinya...aku sudah ada yang punya
Namun ku tergetar 'tuk mengenalnya...kuberi
Senyumku kepadanya...dan kau tau maksud hatiku
Kau bertanya siapa namaku...kujawab walaupun
Tersipu...dan kita berjanji 'tuk jumpa lagi..tanpa
Ada teman, tanpa ada yang tau kita suka...
Chorus:
Setiap kubercinta dengan pacar rahasiaku
Aku ingin kau tak tau bahwa ku sudah ada yang
Punya...setiap kubercinta dengan pacar rahasiaku...
Aku suka, kamu suka,
Sudah jangan bilang siapa-siapa
Aku bagai putri yang s'lalu...menebar pesona ke insan pria
Pasti ada satu, dua lelaki yang 'kan suka... Ouo...manusia
Tak pernah berhenti...mencari yang didambakannya
Tuhan mohon petunjukmu...
Aku bukanlah wanita yang merindukan...
Sang raja yang 'kan Memeluk ratunya...
Ku hanya manusia, yang menginginkan satu pria saja
Yang terbaik untuk hidupku...
Chorus
Penjaga Kamar Mayat
SUDAH lebih dua puluh lima tahun Pak Tabah bekerja sebagai penjaga kamar mayat. Rentang waktu yang lumayan panjang itu dia lewati dengan penuh ketekunan, kegembiraan serta rasa tanggung jawab sebagai penjaga kamar mayat. Ia pun telah menerima penghargaan atas pengabdiannya yang lama itu dari rumah sakit tempatnya bekerja. Petugas-petugas rumah sakit yang junior bangga dan hormat kepadanya. Mereka menganggap Pak Tabah sebagai Bapak mereka sendiri. NAMUN akhir-akhir ini Pak Tabah berubah menjadi pemurung. Seakan-akan hari-hari terasa berat dalam kepalanya yang tua. Hari-hari terasa kelabu dalam hatinya yang merah. Hari-hari terasa begitu menekan pundaknya, begitu menyiksa. Pak Tabah yang dikenal tabah dan ceria tiba-tiba menjadi orang tua yang pemurung. bukan karena urusan dengan mayat ia menjadi begitu pemurung hari-hari belakangan ini. Bukan pula karena tugas-tugas rumah sakit yang tidak becus dia kerjakan. Bukan. Bukan karena pekerjaannya. Tapi kemurungannya telah membuat sistem di kamar mayat itu jadi sedikit kacau. Bayangkan, sudah lebih dua puluh lima tahun ia mengurusi segala persoalan dan keperluan mayat-mayat yang masuk ke kantornya. Setiap mayat yang masuk dan yang keluar ia data dengan telaten. Dia tidak bersikap diskriminatif pada mayat-mayat itu. Semua jenis mayat, baik mayat korban kecelakaan lalu-lintas, korban pembunuhan, korban perkosaan, korban narkoba, semuanya diurus dengan baik. Bahkan mayat yang sudah membusuk atau yang tinggal rangka saja juga diurus dengan sangat baik dan telaten. Semuanya dicatat dalam buku yang mirip buku tamu itu. ''Semuanya ini untuk memudahkan petugas visum dan keluarga si mayat,'' ujarnya suatu kali dengan nada datar. Namun kali ini si penjaga kamar mayat itu nampak tidak begitu bersemangat mengurus mayat yang masuk maupun mayat yang keluar. Wajahnya yang tua masih nampak murung. Pak Tabah melewatkan waktunya dengan melamun di meja kantornya. Matanya yang letih memandang kosong ke tumpukan peti-peti mati di ruangan itu. Kembali ia terkenang pada istri tercintanya. Kembali ia teringat pada putra semata wayang yang juga dicintainya. Dua orang yang dicintainya itu telah pergi meninggalkannya dalam kesepian dan kepedihan yang meletihkan. Istrinya telah lama pergi ke alam baka. Sedangkan anaknya entah pergi kemana setelah peristiwa seminggu yang lalu itu. ''Bos Tua, nih ada mayat baru lagi. Masih segar dan hangat,'' goda Badil, petugas junior di kamar mayat itu. Pak Tabah hanya tersenyum hambar menanggapi lelucon juniornya itu. Tidak ada gairah bercanda pada wajahnya. Hanya bola matanya yang sudah rabun itu masih terus menerawang kosong pada tumpukan peti-peti mati di ruangan itu. Badil mencoba mendekati Pak Tabah, mencoba mencari sebab kenapa ia menjadi begitu murung. Sudah dua tahun Badil bekerja di rumah sakit itu sebagai penjaga kamar mayat. Badil sudah merasa akrab dengan Pak Tabah, seniornya itu. Seperti kebanyakan petugas di rumah sakit itu, Badil mengenal Pak Tabah sebagai orang tua yang tabah dan periang. Itulah sebabnya Badil merasa aneh dengan kondisi Pak Tabah sekarang. Seniornya itu banyak mengajarinya bagaimana memegang mayat agar tidak takut atau jijik. Bagaimana memandikan mayat korban AIDS agar tidak tertular. Bagaimana membungkus mayat dengan rapi. Dan masih banyak hal lain yang diwariskan seniornya itu kepadanya. Dulu sebelum Pak Tabah menjadi begitu murung, Badil suka sekali mengajak Pak Tabah bermain catur. Begitulah, kalau kebetulan mereka dapat tugas malam mereka selalu melewati malam dengan bermain catur. Walaupun Badil pernah menjadi juara catur di kotanya, namun ia tidak berdaya menghadapi serangan-serangan Pak Tabah yang alot itu. Seniornya itu selalu bisa menyudahi perlawanannya dengan beberapa langkah saja. Tapi hari-hari belakangan ini tidak ada lagi permainan catur. Pak Tabah yang biasanya periang kini lebih suka memandang kosong ke peti-peti mati yang bersusun di ruangan itu. ''Aku tidak menduga putraku yang semata mayang yang kucintai dan kubanggakan itu kini begitu menyakitkan hatiku,'' Pak Tabah mulai membuka mulut. Badil yang dari tadi menemaninya hanya diam mendengarkan ia berkeluh kesah. ''Hampir semua barang-barang berharga di rumah dijualnya tanpa sepengetahuanku. Televisi, tape, buku-buku, sepeda motor, sampai kalung dan cincin mendiang ibunya semua ludes dijualnya. Uang hasil penjualan barang-barang tersebut habis dalam sekejap. Sekarang setiap hari dia minta uang, entah untuk keperluan apa. Dan aku pun merasa bodoh tidak menanyakan untuk keperluan apa yang itu,'' matanya yang tua masih terus menerawang. ''Aku sangat mencintainya melebihi cintaku kepada diriku sendiri. Tapi kini dia benar-benar menyakiti hatiku. Dia yang dulunya penurut mulai berani melawanku. Mulai berani kurang ajar pada ayahnya.'' Badil masih terus dengan posisi diamnya, namun mencoba menerka ke mana arah keluh kesah Pak Tua ini. ''Seminggu yang lalu dia minggat dari rumah dan mengancam tidak akan pulang untuk selamanya jika aku tidak bisa menyediakan uang satu juta untuknya.''
''Bapak sudah mendapatkan uang sebanyak itu?''
''Dari mana aku mesti mendapatkan uang sebanyak itu. Bahkan gajiku pun tidak cukup untuk menuruti permintaannya.'' ''Nanti juga putra Bapak kembali,'' Badil mencoba menghibur kegundahanseniornya itu. Tapi Pak Tabah sudah seperti kehilangan ketabahannya. Semangat kerjanya juga sudah menurun sejak kepergian putranya itu.
Mawar Biru Untuk Novia
Ahmadun Y Herfanda UDARA seperti membeku di Adelweis Room, sebuah kamar rawat inap, di RS Fatmawati, Jakarta Selatan. Dan, di tempat tidur yang serba putih, Novia terbaring beku dalam waktu yang juga membeku. Ia tidak berani menghitung lagi berapa kali jarum jam di ruangan itu melewati angka dua belas, makin mendekati ajal yang bakal menjemputnya. Dokter telah memprediksi usianya tinggal sekitar sebulan karena leukimia yang akut, dan satu-satunya yang ia tunggu dari kekasihnya adalah sekuntum mawar biru. Ya, mawar biru. Bukan mawar merah atau putih. Dan, hanya sekuntum, bukan seikat atau sekeranjang. Tapi, adakah mawar berwarna biru? Sang kekasih, Norhuda, sebenarnya tidak yakin. Yang pernah ia lihat adalah mawar merah, putih, atau kuning. Ketiganya tumbuh dan berbunga lebat di halaman rumahnya. Tapi, mawar biru? Ia tidak yakin. Bunga berwarna biru yang pernah ia lihat hanya anggrek bulan dan anyelir. Itupun bukan persis biru, tapi keunguan. “Apa kau yakin ada mawar berwarna biru, Sayang?” “Aku yakin. Aku pernah melihatnya.” “Bukan dalam mimpi?” “Bukan. Di sebuah taman. Tapi, aku lupa taman itu. Rasa-rasanya di Jakarta.” Norhuda terdiam. Dari bola matanya terpancar keraguan, dan itu ditangkap oleh Novia. “Carilah, Sayang. Jangan ragu-ragu. Hanya itu yang aku pinta darimu, sebagai permintaan terakhirku. Carilah dengan rasa cinta.” Novia berusaha meyakinkan. Maka, dengan rasa cinta, berangkatlah Norhuda mencari sekuntum mawar biru permintaan kekasihnya itu. Ia langsung menuju taman-taman kota Jakarta, dan menyelusuri seluruh sudutnya. Tidak menemukannya di sana, ia pun menyelusuri semua taman milik para penjual tanaman hias dan toko bunga. Bahkan ia juga keluar masuk kampung dan kompleks perumahan serta real estate , memeriksa tiap halaman rumah dan taman-taman di sana. Berhari-hari ia bertanya-tanya ke sana kemari, mencari mawar berwarna biru. “Bunga mawar berwarna biru adanya di mana ya? Aku sedang membutuhkannya!” tanyanya pada seorang mahasiswa IPB, kawan kentalnya. “Ah, ada-ada saja kamu. Biar kamu cari sampai ke ujung dunia pun enggak bakal ada.” “Tapi, Novia pernah melihatnya.” “Bunga kertas kali!” “Jangan bercanda! Ini serius. Usia dia tinggal dua minggu lagi. Hanya sekuntum mawar biru yang dia minta dariku untuk dibawa mati.” “Kalau memang tidak ada harus bilang bagaimana?” Norhuda lemas mendengar jawaban itu. Ia sadar, siapa pun tidak akan dapat menemukan sesuatu yang tidak pernah ada, kecuali jika Tuhan tiba-tiba menciptakannya. Tapi bagaimana ia harus meyakinkan Novia bahwa mawar itu memang tidak ada, selain dalam mimpi. Jangan-jangan ia memang melihatnya hanya dalam mimpi? * * * NORHUDA duduk tercenung di bangku taman, di salah satu sudut Taman Monas. Ia menyapukan lagi pandangannya ke seluruh sudut taman itu – pekerjaan yang sudah dia ulang-ulang sampai bosan. Ia masih berharap dapat menemukan mawar biru di sana, atau sebuah keajaiban yang bisa memunculkan sekuntum mawar biru di tengah hamparan rumput taman itu. “Bukankah Tuhan memiliki kekuatan kun fayakun ? Kalau Tuhan berkata ‘jadi!' maka ‘jadilah'. Ya, kenapa aku tidak berdoa, memohon padaNya saja?” pikirnya. “Ya Allah, dengan kekuatan kun fa yakun- Mu , mekarkanlah sekuntum mawar biru di depanku saat ini juga,” teriak Norhuda tiba-tiba, sambil berdiri, menadahkan tangan dan mendongak ke langit. Tak lama kemudian ada seorang lelaki tua jembel, dengan kaus robek-robek dan celana lusuh, mendekatinya dan duduk di sebelahnya. Bau bacin langsung menusuk hidung Norhuda dan membuatnya mau muntah. Jembel ini pasti tak pernah mandi, pikirnya. Norhuda mengangkat pantatnya, bermaksud segera pindah ke bangku lain. Tapi, orang tua itu tiba-tiba bersuara parau: “Maaf, Nak. Bolehkah saya minta tolong?” “Minta tolong apa, Pak?” “Rumah Bapak di seberang sana . Bapak tidak berani menyeberang sendiri. Takut tersesat. Ugh ugh ugh.” Orang tua, yang ternyata tuna netra, itu batuk-batuk dan meludah sembarangan. Norhuda makin jijik saja. “Kota ini betul-betul seperti hutan, menyesatkan. Banyak binatang buasnya. Harimau, buaya, badak, ular berbisa, tikus busuk, kadal, bunglon, kecoa, semua ada di sini. Kau harus hati-hati, Nak, agar tidak jadi korban mereka.” “Bapak mau pulang sekarang?” “Ya ya, Nak. Diantar sampai rumah ya?” Norhuda pusing juga. Mencari bunga mawar biru belum ketemu, tiba-tiba kini ada orang tua jembel minta diantar pulang. Sampai rumahnya pula. Dan selama itu ia harus menahan muntah karena bau bacin lelaki tua itu. Meski hatinya agak berat, Norhuda terpaksa menuntun lelaki tuna netra itu. Ia harus sering-sering menahan nafas untuk menolak bau bacin tubuh lelaki tua itu. “Bapak tinggal di kampung apa?” “Di kampung seberang.” “Aduh…. Bapak tadi naik apa ke sini?” “Kereta api listrik. Tadi Bapak naik dari Bogor , mau pulang, tapi kebablasan sampai sini. Jadi, tolong diantar ya, Nak. Bapak takut kebablasan lagi.” Norhuda terpaksa mengantar orang tua tunanetra itu, dengan naik KRL dari stasiun Gambir. Begitu naik ke dalam gerbong, lelaki gembel itu langsung mempraktikkan profesinya, mengemis, dan Norhuda dipaksa menuntunnya dari penumpang ke penumpang. Maka, jadilah dia pengemis bersama tunanetra itu, dengan menahan rasa malu dan cemas kalau-kalau kepergok kawannya “Maaf ya, Nak. Bapak hanya bisa meminta-minta seperti ini untuk menyambung hidup. Tapi, Bapak rasa ini lebih baik dari pada jadi maling atau koruptor. Dulu Bapak pernah jadi tukang pijat. Tapi sekarang tidak laku lagi, karena sudah terlalu tua,” kilah lelaki gembel itu. *** TURUN dari KRL di Stasiun Lenteng Agung, hari sudah sore. Lelaki tua itu mengajak Norhuda menyeberang ke arah timur, kemudian mengajak menyusur sebuah gang. Tiap ditanya rumahnya di sebelah mana, di gang apa, RT berapa dan RW berapa, lelaki tua itu selalu menunjuk ke timur, hingga keduanya sampai di tepi Kali Ciliwung. Pada saat itulah, tanpa sengaja, Norhuda melihat segerumbul tanaman dengan bunga-bunga berwarna biru tumbuh di pinggir sebuah hamparan rerumputan. “Sebentar, Pak, saya membutuhkan bunga itu.” Norhuda bergegas ke tanaman bunga itu, dan betul, bunga mawar biru, yang tumbuh liar di tepi hamparan rerumputan di pinggir jalan setapak yang menyusur lereng Kali Ciliwung. Dia langsung berjongkok dan dengan penuh suka cita memetik beberapa kuntum, serta mencium-ciumnya dengan penuh gairah. Harum bunga itu begitu menyengat, seperti bau parfum yang mahal. Saat itulah, tiba-tiba terdengar suara parau lelaki tua yang tadi bersamanya dari arah belakangnya: “Nak, ini uangmu. Saya taruh di sini ya. Saya pamit dulu.” Norhuda langsung berpaling ke arah suara itu. Tapi tak ada siapa-siapa, kecuali sebuah kantong kain lusuh teronggok persis di belakangnya. Dengan matanya, Norhuda mencari-cari lelaki tua itu di tiap sudut jalan dan tepi kali, tapi tidak menemukannya. Aneh, lelaki itu raib begitu saja, pikirnya. Norhuda merasa sedikit takut. Pikirannya menebak-nebak siapa lelaki gembel yang membawanya ke tempat itu dan raib begitu saja. Malaikatkah dia? Jin? Atau Nabi Hidir? Ia pernah mendengar kisah tentang Nabi Hidir yang konon hidup di sepanjang sungai dan suka menyamar menjadi lelaki gembel. Norhuda merinding memikirkannya. *** SETELAH mawar biru ada di tangannya, satu-satunya yang terpikir oleh Norhuda adalah segera membawanya kepada kekasihnya, Sovia, yang sedang sekarat di RS Fatmawati. Ia sangaja memilih taksi untuk meluncur cepat ke sana . Di Adelweis Room, Novia sudah koma. Tangannya diinfus darah merah, hidungnya ditutup masker oksigen. Matanya terpejam dengan rona wajah pucat pasi. Ayah dan ibu sang gadis duduk di dekatnya dengan wajah cemas. Dengan perasaan cemas pula Norhuda mendekati Sovia dan berbisik di telinganya, “Novia, kau dengar aku. Aku sudah menemukan mawar biru yang kau tunggu. Ini aku bawakan untukmu.” Tiba-tiba gadis itu membuka matanya, dan pelan-pelan tangannya bergerak, membuka masker oksigen dari hidungnya. “Mana bunga itu, Sayang,” katanya lirih. “Ini.” Dengan tangan kanannya Novia meraih bunga itu, lalu menempelkan ke hidungnya dan menyedot harumnya dengan penuh gairah. Pelan-pelan rona wajahnya menjadi segar. “Bunga ini akan menyembuhkanku. Ini bunga yang kulihat dalam mimpi. Ini pasti bunga dari sorga. Syukurlah, kau dapat menemukannya. Aku akan memakannya.” Novia benar-benar memakan bunga itu, helai demi helai kelopaknya. Sesaat kemudian, dengan bibir menyunggingkan senyum, pelan-pelan ia memejamkan matanya. Ia tertidur dengan mendekap sekuntum mawar biru yang tersisa.
Persahabatan Sunyi
Harris Effendi Thahar DI sebuah jembatan penyeberangan tak beratap, matahari menantang garang di langit Jakarta yang berselimut karbon dioksida. Orang-orang melintas dalam gegas bersimbah peluh diliputi lautan udara bermuatan asap knalpot. Lelaki setengah umur itu masih duduk di situ, bersandarkan pagar pipa-pipa besi, persis di tengah jembatan. Menekurkan kepala yang dibungkus topi pandan kumal serta tubuh dibalut busana serba dekil, tenggorok di atas lembaran kardus bekas air kemasan. Di depannya sebuah kaleng peot, nyaris kosong dari uang receh logam pecahan terkecil yang masih berlaku. Dan, di bawah jembatan, mengalir kendaraan bermotor dengan derasnya jika di persimpangan tak jauh dari jembatan itu berlampu hijau. Sebaliknya, arus lalu lintas itu mendadak sontak berdesakan bagai segerombolan domba yang terkejut oleh auman macan, ketika lampu tiba-tiba berwarna merah. Lelaki setengah umur yang kelihatan cukup sehat itu akan "tutup praktik" ketika matahari mulai tergelincir ke Barat. Turun dengan langkah pasti menuju lekukan sungai hitam di pinggir jalan, mendapatkan gerobak dorong kecil beroda besi seukuran asbak. Dari dalam gerobak yang penuh dengan buntelan dan tas-tas berwarna seragam dengan dekil tubuhnya, ia mencari-cari botol plastik yang berisi air entah diambil dari mana, lalu meminumnya. Setelah itu ia bersiul beberapa kali. Seekor anjing betina kurus berwarna hitam muncul, mengendus-endus dan menggoyang-goyangkan ekornya. Ia siap berangkat, mendorong gerobak kecilnya melawan arus kendaraan, di pinggir kanan jalan. Anjing kurus itu melompat ke atas gerobak, tidur bagai anak balita yang merasa tenteram di dodong ayahnya. Melintasi pangkalan parkir truk yang berjejer memenuhi trotoar, para pejalan kaki terpaksa melintas di atas aspal dengan perasaan waswas menghindari kendaraan yang melaju. Lelaki itu lewat begitu saja mendorong gerobak bermuatan anjing dan buntelan-buntelan kumal miliknya sambil mencari-cari puntung rokok yang masih berapi di pinggir jalan itu, lalu mengisapnya dengan santai. Orang-orang menghindarinya sambil menutup hidung ketika berpapasan di bagian jalan tanpa tersisa secuil pun pedestrian karena telah dicuri truk-truk itu. Lelaki setengah umur itu memarkir gerobak kecilnya di bawah pokok akasia tak jauh setelah membelok ke kanan tanpa membangunkan anjing betina hitam kurus yang terlelap di atas buntelan-buntelan dalam gerobak itu. Ia menepi ke pinggir sungai yang penuh sampah plastik, lalu kencing begitu saja. Ia tersentak kaget ketika mendengar anjingnya terkaing. Seorang bocah perempuan ingusan yang memegang krincingan dari kumpulan tutup botol minuman telah melempari anjing itu. Lelaki itu berkacak pinggang, menatap bocah perempuan ingusan itu dengan tajam. Bocah perempuan ingusan itu balas menantang sambil juga berkacak pinggang. Anjing betina hitam kurus itu mengendus-endus di belakang tuannya, seperti minta pembelaan. Lelaki itu kembali mendorong gerobak kecilnya dengan bunyi kricit- kricit roda besi kekurangan gemuk. Anjing betina kurus berwarna hitam itu kembali melompat ke atas gerobak, bergelung dalam posisi semula. Bocah perempuan yang memegang krincingan itu mengikuti dari belakang dalam jarak sepuluh meteran. Bayangan jalan layang tol dalam kota, melindungi tiga makhluk itu dari sengatan matahari. Sementara lalu lintas semakin padat, udara semakin pepat berdebu. Tiba-tiba, lelaki setengah umur itu membelokkan gerobak kecilnya ke sebuah rumah makan yang sedang padat pengunjung. Dari jauh, seorang satpam mengacung-acungkan pentungannya tinggi-tinggi. Lelaki itu seperti tidak memedulikannya, terus saja mendorong hingga ke lapangan parkir sempit penuh mobil di depan restoran itu. Sepasang orang muda yang baru saja parkir hendak makan, kembali menutup pintu mobilnya sambil menutup hidung ketika lelaki itu menyorongkan gerobaknya ke dekat mobil sedan hitam itu. Seorang pelayan rumah makan itu berlari tergopoh- gopoh keluar, menyerahkan sekantong plastik makanan pada laki-laki itu sambil menghardik. "Cepat pergi!" LELAKI setengah umur itu menghentikan gerobak kecilnya di depan sebuah halte bus kota. Mengeluarkan beberapa koin untuk ditukarkan dengan beberapa batang rokok yang dijual oleh seorang penghuni tetap halte itu dengan gerobak jualannya. Orang-orang yang berdiri di dekat gerobak rokok itu menghindar tanpa peduli. Halte itu senantiasa ramai karena tak jauh dari situ ada satu jalur pintu keluar jalan tol yang menukik dan selalu sesak oleh mobil-mobil yang hendak keluar. Lelaki itu meneruskan perjalanannya menuju kolong penurunan jalan layang tol itu. Meski berpagar besi, telah lama ada bagian yang sengaja dibolongi oleh penghuni-penghuni kolong jalan layang itu untuk dijadikan pintu masuk. Tempat lelaki setengah umur itu di pojok yang rada gelap dan terlindung dari hujan dan panas. Dari dulu tempatnya di situ, tak ada yang berani mengusik. Kecuali beberapa kali ia diangkut oleh pasukan tramtib kota, lalu kemudian dilepas dan kembali lagi ke situ. Ia lalu membongkar isi gerobaknya, mengeluarkan lipatan kardus dan mengaturnya menjadi tikar. Anjing betina berwarna hitam kurus itu mengibas-ngibaskan ekornya ketika lelaki itu mengambil sebuah piring plastik dari dalam buntelan, lalu membagi makanan yang didapatnya dari rumah makan tadi. Keduanya makan dengan lahap tanpa menoleh kanan-kiri. Bocah perempuan ingusan itu berdiri dari jauh di bawah kolong jalan layang itu, memandang dengan rasa lapar yang menyodok pada dua makhluk yang sedang asyik menikmati makan siang itu. Ia memberanikan dirinya menuju kedua makhluk itu, lalu bergabung makan dengan anjing betina berwarna hitam kurus itu. Ternyata anjing betina itu penakut. Ia menghindar dan makanan yang tinggal sedikit itu sepenuhnya dikuasai bocah perempuan itu dan ia melahapnya. Sedang lelaki setengah umur itu tidak peduli, meneruskan makannya hingga licin tandas dari daun pisang dan kertas coklat pembungkus. Mengeluarkan sebuah botol air kemasan berisi air, meminumnya separuh. Tanpa bicara apa- apa, bocah perempuan ingusan itu menyambar botol itu dan meminumnya juga hingga tandas. Lelaki setengah umur itu hanya memandang, sedikit terkejut, tapi tidak bicara apa-apa. Air mukanya tawar saja. Mengeluarkan rokok dan membakarnya sambil bersandar pada gerobak kecilnya. Tergeletak tidur setelah itu di atas bentangan kardus kumal. MALAM telah larut. Bocah perempuan ingusan itu terbirit-birit dikejar gerimis yang mulai menghujan. Rambutnya yang nyaris gimbal itu kini melekat lurus-lurus di kulit kepalanya disiram gerimis. Bunyi krincingan dan kresek-kresek kantong plastik yang dibawanya membangunkan anjing betina kurus berwarna hitam itu. Ia menyalak sedikit, kemudian merungus setelah dilempari sepotong kue oleh bocah itu. Lewat penerangan jalan, samar- samar dilihatnya lekaki setengah umur itu tidur bergulung bagai angka lima di atas kardus. Setelah melahap kue, anjing itu kembali tidur di sebelah tuannya, di atas bentangan kardus yang tersisa. Bocah itu mengeluarkan lilin dan korek api dari dalam kantong plastik. Berkali-kali menggoreskan korek api, padam lagi oleh tiupan angin bertempias. Lalu ia mendekat ke arah lelaki setengah umur itu agar lebih terlindung oleh angin dan berhasil menyalakan lilin. Bocah itu melihat ujung lipatan kardus tersembul dari dalam gerobak kecil di atas kepala lelaki setengah umur itu. Ia berusaha menariknya keluar tanpa menimbulkan suara berisik dan membangunkan lelaki itu. Setelah berhasil, ia membaringkan dirinya yang setengah menggigil karena pakaiannya basah. Merapat pada tubuh lelaki yang memunggunginya itu, sekadar mendapatkan imbasan panas dari tubuh lelaki itu. Bocah perempuan ingusan itu cepat terlelap dan bermimpi berperahu bersama anjing betina kurus berwarna hitam itu di sebuah danau yang sunyi. Deru mesin mobil yang melintasi jembatan beton di atas mereka justru menimbulkan rasa tenteram, rasa hidup di sebuah kota yang sibuk. Lelaki setengah umur itu juga sedang bermimpi tidur dengan seorang perempuan. Ketika ia membalikkan badannya, ia menangkap erat-erat tubuh bocah yang setengah basah itu dan melanjutkan mimpinya. Sebelumnya, kolong penurunan jalan layang tol itu cukup padat penghuninya di malam hari. Beberapa anak jalanan yang sehari- hari mengamen di sepanjang jalan bawah, juga bermalam di situ. Ada lima anak jalanan laki-laki yang selalu menjahili bocah perempuan yang selalu membawa krincingan itu sampai menangis berteriak-teriak. Lelaki setengah umur itu membiarkannya saja. Mungkin menurutnya sesuatu yang biasa-biasa saja, meskipun anak-anak lelaki itu sampai-sampai menelanjangi bocah perempuan ingusan itu. Penghuni lain pun tak ada yang berani membela. Sejak itu, bocah perempuan ingusan itu menghilang, entah tidur di mana. Lelaki setengah umur itu mulai marah ketika suatu hari ia membawa seekor anjing betina kurus berwarna hitam ke markasnya. Mungkin anjing itu kurang sehat hingga semalaman anjing itu terkaing-kaing. Lelaki itu tampak berusaha keras mengobati anjing itu dengan menyuguhkan makanan dan air. Tapi, anak-anak jalanan yang jahil itu melempari anjing itu dengan batu. Salah satu batunya mengenai kepala lelaki itu. Lelaki itu meradang, lalu mengambil golok di dalam timbunan buntelan dalam gerobak kecilnya. Anak-anak itu dikejarnya. Konon salah seorang terluka oleh golok itu. Namun, mereka tak ada yang berani melawan dan tak berani kembali lagi. SEBELUM subuh, pasukan tramtib itu datang lagi, lengkap dengan polisi dan beberapa truk dengan bak terbuka pengangkut gelandangan. Sebelum matahari muncul, kolong- kolong jembatan dan jalan layang harus bersih dari manusia-manusia kasta paling melata itu. Mimpi lelaki itu tersangkut bersama gerobaknya di atas bak truk. Begitu juga bocah perempuan itu. Lelaki setengah umur itu menggapai-gapaikan tangannya, minta petugas menaikkan anjingnya yang menyalak-nyalak, minta ikut bersama tuannya. Tapi, sebuah pentungan kayu telah mendarat di kepala anjing kurus itu hingga terkaing-kaing, berlari ke seberang jalan dan hilang ditelan kegelapan. "Mampus kau, anjing kurapan!" sumpah petugas itu sambil melompat ke atas truk yang segera berangkat. Bak truk terbuka itu nyaris penuh, termasuk tukang rokok di halte dekat situ. Lelaki setengah umur itu tampak geram. Matanya mencorong ke arah petugas yang memegang pentungan. Petugas itu pura-pura tidak melihat. Hujan telah berhenti. Iringan truk yang penuh manusia gelandangan kota yang dikawal mobil polisi bersenjata lengkap di depannya, menuju ke suatu tempat arah ke Utara, dan kemudian membelok ke kanan. Dari pengeras suara di puncak-puncak menara masjid terdengar azan subuh bersahut-sahutan. Bulan semangka tipis masih menggantung di langit, kadang-kadang tertutup awan yang bergerak ke Barat. BEBERAPA minggu kemudian, pelintas jembatan penyeberangan yang beratap itu, kembali menemukan lelaki setengah umur itu berpraktik di tempat sebelumnya. Ia baru turun mengemasi kaleng peot dan alas kardusnya ketika matahari mulai tergelincir ke Barat. Melangkah dengan pasti, menuju tempat gerobak kecilnya ditambatkan. Di depan pangkalan truk yang telah menyempitkan jalan, lelaki itu mendorong gerobak kecilnya dengan santai sambil mengawasi puntung-puntung rokok yang masih berapi dilempar sopir-sopir truk ke jalan. Ada yang sengaja melemparkan puntung rokoknya ketika laki- laki bergerobak itu melintas. Di atas gerobaknya, kini bertengger bocah perempuan ingusan itu sambil terus bernyanyi dengan iringan krincingannya. Orang-orang tak ada yang peduli.*
Si Pelit
Seorang yang sangat pelit mengubur emasnya secara diam-diam di tempat yang dirahasiakannya di tamannya. Setiap hari dia pergi ke tempat dimana dia mengubur emasnya, menggalinya dan menghitungnya kembali satu-persatu untuk memastikan bahwa tidak ada emasnya yang hilang. Dia sangat sering melakukan hal itu sehingga seorang pencuri yang mengawasinya, dapat menebak apa yang disembunyikan oleh si Pelit itu dan suatu malam, dengan diam-diam pencuri itu menggali harta karun tersebut dan membawanya pergi. Ketika si Pelit menyadari kehilangan hartanya, dia menjadi sangat sedih dan putus asa. Dia mengerang-erang sambil menarik-narik rambutnya. Satu orang pengembara kebetulan lewat di tempat itu mendengarnya menangis dan bertanya apa saja yang terjadi. "Emasku! oh.. emasku!" kata si Pelit, "seseorang telah merampok saya!" "Emasmu! di dalam lubang itu? Mengapa kamu menyimpannya disana? Mengapa emas tersebut tidak kamu simpan di dalam rumah dimana kamu dapat dengan mudah mengambilnya saat kamu ingin membeli sesuatu?" "Membeli sesuatu?" teriak si Pelit dengan marah. "Saya tidak akan membeli sesuatu dengan emas itu. Saya bahkan tidak pernah berpikir untuk berbelanja sesuatu dengan emas itu." teriaknya lagi dengan marah. Pengembara itu kemudian mengambil sebuah batu besar dan melemparkannya ke dalam lubang harta karun yang telah kosong itu. "Kalau begitu," katanya lagi, "tutup dan kuburkan batu itu, nilainya sama dengan hartamu yang telah hilang!" Harta yang kita miliki sama nilainya dengan kegunaan harta tersebut.
DO'A UNTUK MEMPERKUAT INGATAN
ARRAHMAANU 'ALLAMAL QUR AANA KHALAQAL INSAANA 'ALLAMAHUL BAYAAN ASYSYAMSUWALQAMARU BIHUSBAANIN WANNAJMU WASYSYAJARU YASYUDAAN. LAA TUHARRIK LISANAKA LITA' JALABIHI INNA 'ALAINAAJAM 'AHU WAQUR'AANAHU, TSUMMA INNA 'ALAINNA BAYAANAHU BAL HUWA QUR'AANUM MAJIIDUNFIILA'HIN MAHFUUDH
PASANG IKLAN DISINI
Bagi para advertiser yang berminat pasang iklan di Blog CORAT CORET KU, bisa langsung kirim email ke danijazz_03@yahoo.co.id Saya akan mereply anda sesegera mungkin, memberikan anda info-info seputar pemasangan iklan.
Bisa juga live chat dengan saya lewat YM
Slot iklan yang telah tersedia bisa disesuaikan kembali sesuai keinginan. Penempatan slot iklan juga bisa diatur sedemikian rupa sesuai permintaan advertiser.Hubungi saya untuk harga dan sistem pembayarannya... :D
Terima kasih
RINDU by Tuty Wibowo
Semilir angin yang berhembus dimalam yang sunyi sepi ini
Rembulan semakin redup seakan ikut bersedih
Melihat ku seorang diri lagi
Kasih ku kini telah pergi tinggallah kerinduan di hati
Entah kemana kan kucari
Entahlah kemana dia pergi
Kutanya pada rembulan dan bintang
Tetapi hanya diam dan membisu
Berapa lama kah diriku menanti dirimu kembali
Menanti dirimu kembali sungguh tak sanggup bilaku harus begini
Adakah kau rindu kekasih seperti aku yang disini
Lirik lagu 7 Icons Playboy
P-L-A-Y-B-O-Y-B-O-Y
Lihat yang mulus
Lihat yang bening
Ampe yang disebelah gak ditengok
Cakep dikit deketin
Bohai dikit jabanin
Hatiku kamu terus yang mainin
Apa sekarang
Cowok pada jago akting
Apa ku salah
Bila andalkan cinta
Gak gak gak kuat
Gak gak gak kuat
Aku gak kuat sama
Playboy playboy
Gak gak gak level
Gak gak gak level
Aku gak level sama
Cowok gampangan
Lihat yang mulus
Lihat yang bening
Ampe yang disebelah
Gak ditengok
Lihat yang muda
Six pack dikit ya
Ampe yang disebelah
Kayak begok
Apa sekarang
Cowok pada jago akting
Apa ku salah
Bila andalkan cinta
Gak gak gak kuat
Gak gak gak kuat
Aku gak kuat
Sama playboy playboy
Gak gak gak level
Gak gak gak level
Aku gak level sama
Cowok gampangan
Gak gak gak kuat
Gak gak gak kuat
Aku gak kuat sama
Playboy playboy
Gak gak gak level
Gak gak gak level
Aku gak level sama
Playboy playboy
Playboy playboy
Playboy playboy
Playboy playboy
Let’s go
Let let’s go
Ogah sama playboy
P-L-A-Y-B-O-Y-B-O-Y
Gak gak gak kuat
Gak gak gak kuat
P-L-A-Y-B-O-Y-B-O-Y
Gak gak gak level
Gak gak gak level
Boys boys boys
Boys boys boys
Gak gak gak kuat
Gak gak gak kuat
Aku gak kuat sama
Playboy playboy
Gak gak gak level
Gak gak gak level
Aku gak level sama
Cowok gampangan
Gak gak gak kuat
Gak gak gak kuat
Aku gak kuat sama
Playboy playboy
Gak gak gak level
Gak gak gak level
Aku gak level sama
Playboy playboy
Playboy playboy
Playboy playboy
Playboy playboy
Lirik lagu Nindy Seribu Cara (feat. Girliez)
Ternyata hanya kau yang bisa
Antara seribu bintang terlihat
Engkaulah yang paling bersinar
Ku berjanji dalam hati
Seribu cara ku lakukan untukmu
Agar kau bisa mencintaiku
Ku penuhi semua apa yang kau mau
Tuk selalu di dekatmu
Seribu cara ku lakukan untukmu
Agar kau bisa jadi milikku
Namun ku sadari diriku wanita
Tak bisa nyatakan cinta
Memanglah (memanglah) hanya engkau pria
Yang bisa mengisi hatiku
Antara seribu bintang terlihat
Ku pastikan engkaulah yang paling bersinar
Seribu cara ku lakukan untukmu
Agar kau bisa mencintaiku
Ku penuhi semua apa yang kau mau
Tuk selalu di dekatmu
Seribu cara ku lakukan untukmu
Agar kau bisa jadi milikku
Namun ku sadari diriku wanita
Tak bisa nyatakan cinta
Semoga saja (semoga saja)
Dewi cinta menembakku
Dan membuka hatinya jadi milikku
(Ternyata hanya kau yang bisa
Membuat aku tergila-gila)
Seribu cara ku lakukan untukmu
Agar kau bisa mencintaiku
Ku penuhi semua apa yang kau mau
Tuk selalu di dekatmu
Seribu cara ku lakukan untukmu
Agar kau bisa jadi milikku
Namun ku sadari diriku wanita
Tak bisa nyatakan cinta
Seribu cara ku lakukan untukmu
Agar kau bisa mencintaiku
Ku penuhi semua apa yang kau mau
Tuk selalu di dekatmu
Seribu cara ku lakukan untukmu
Agar kau bisa jadi milikku
Namun ku sadari diriku wanita
Tak bisa nyatakan cinta
Diriku wanita tak bisa nyatakan cinta
Lirik lagu Anggun Mantra
Gelam hitam mata
Dari yang menggoda hati
Menggelitik di jiwa
Merayu di mimpi
Tak kan aku dusta
Ada yang menggoda hati
Jangan kau biarkan diriku
Jangan kau lepaskan tanganku
Dalam mantramu kan terhenti dosa
Dalam mantra… dalam mantra
Jangan kau biarkan hatiku
Jangan kau tinggalkan langkahku
Dalam mantramu kuhilangkan dosa
Dalam mantra… dalam mantra
Detak yang di dada
Bergetar di bibir
Ku tak bisa lupa
Yang telah menggoda hati
Ku tak ingin kecewa
Tak ingin ku lari
Ku tak mau terlena
Dan tak ingin berdosa
Keajaiban Manfaat Air dalam Tubuh
MENJAGA kesehatan tak hanya dari asupan makanan dan suplemen vitamin yang cukup. Air menjadi salah satu unsur terpenting dalam membentuk ketahanan tubuh yang memadai. 70% tubuh manusia terdiri dari air, maka bisa dibayangkan sebesar apa manfaat air bagi tubuh.
8 Fakta Tentang Kebiasaan Bayi Menghisap Jempol
Berikut ini 8 fakta mengenai kebiasaan menghisap jempol, sekaligus cara-cara menghilangkan kebiasaan yang menggemaskan, namun memiliki efek samping ini.